Minggu, 29 Mei 2016

Adat Perkawinan di Etnis Tionghoa Sebagai Cerminan Ketahanan Budaya Bangsa











ADAT PERKAWINAN DI ETNIS TIONGHOA
SEBAGAI CERMIN KETAHANAN BUDAYA BANGSA

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dibimbing oleh Bapak Natal Kristiono
Rombel 23


Disusun oleh :

Nama      : Dika Dwi Saputra
NIM       : 5202415093
Prodi      : Pendidikan Teknik Otomotif




UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016



DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................   1
DAFTAR ISI ........................................................................................................   2
KATA PENGANTAR ..........................................................................................   3
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang ............................................................................................   4
  2. Rumusan Masalah .......................................................................................   5
  3. Tujuan .........................................................................................................   5
  4. Manfaat .......................................................................................................   6
BAB II LANDASAN TEORI
  1. Landasan Buku Panduan ............................................................................   7
  2. Tatacara Pernikahan menurut Budaya Tionghoa ........................................   7
  3. Perkembangan Tatacara Pernikahan Tionghoa Masa Kini .........................   8
BAB III METODE PENELITIAN
  1. Lokasi Penelitian .......................................................................................   10
  2. Fokus Penelitian ........................................................................................   10
  3. Waktu dan Tanggal Penelitian ...................................................................   11
  4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................   11
  5. Sumber Data ..............................................................................................   11
  6. Alat Pengumpul Data ................................................................................   18
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
  1. Hasil Penelitian .........................................................................................   20
  2. Pembahasan ...............................................................................................   21
BAB V PENUTUP
  1. Simpulan ...................................................................................................   29
  2. Saran .........................................................................................................   30
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................   31


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan hidayah, taufik dan nikmat-Nya terhadap aktivitas saya sehari-hari. Atas petunjuk dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas laporan penelitian dengan judul “Adat Perkawinan di Etnis Tionghoa Sebagai Cerminan Ketahanan Budaya Bangsa” yang sebagai salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Tugas Penelitian ini telah saya susun dengan maksimal serta kami mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yaitu: warga tionghoa, buku, dan jurnal dari internet sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan penelitian ini. Untuk melengkapi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang dipakai sebagai tugas yang wajib karena memiliki bobot 2 SKS. Sehingga saya dengan serius mengerjakan tugas ini, jadi saya pula tidak terlepas dari itu semua bahwa sepenuhnya dalam pembuatan makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat atau tata bahasa yang kurang sesuai. Oleh karena itu dengan terbukanya saya menerima segala saran dari pembaca supaya saya dapat  memperbaiki kesalahan tugas ini.
Akhir kata saya berharap semoga tugas penelitian yang berjudul “Adat Perkawinan di Etnis Tionghoa Sebagai Cerminan Ketahanan Budaya Bangsa” ini dapat memberikan manfaat dan ilmu bagi para pembaca.



                                                                                    Semarang, 22 Mei 2016

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Suliyati (218–219) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat tionghoa memiliki ke unikan adat dan  tradisi. Walaupun masyarakat tionghoa sudah menetap sangat lama di seluruh wilayah Indonesia termasuk Semarang dan sudah beradaptasi dengan budaya Indonesia, tetapi ada tradisi-tradisi dari tanah asalnya yang masih diterapkan di Indonesia. Upacara perkawinan merupakan hal yang penting dalam budaya tionghoa karena merupakan salah satu upacara daur hidup seseorang. Upacara perkawinan dilaksanakan sesuai dengan aturan agama yang dipeluk oleh kedua mempelai dan ditambah dengan upacara tradisi ciotao. Makna perkawinan bagi masyarakat tionghoa adalah salah satu bentuk xiao (bakti kepada orang tua dan kepada leluhur yaitu untuk melanjutkan keturunan dan pemujaan kepada leluhur). Tujuan perkawinan bukan hanya untuk kebahagiaan kedua mempelai saja, tetapi juga untuk kesejahteraan dua keluarga yang disatukan dalam perkawinan tersebut. Aktivitas  budaya  masyarakat  Tionghoa yang  semakin  marak  akan  menambah kekayaan  dan  keragaman  budaya masyarakat Indonesia. 
Dan pernikahan sendiri adalah kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan tentunya dalam budaya tionghoa juga pernikahan dijadikan kegiatan yang amat sakral. Umumnya pernikahan disebut peristiwa merah yang bermakna kejayaan dan keberanian. Jadi tidak heran jika dalam pernikahan warga tionghoa menggunakan warna merah sebagai acara upacara pernikahan yang penting. Dengan negara Indonesia yang merupakan negara yang punya banyak ragam budaya dan etnis maka setiap warga negara berhak memiliki adat atau kebiasaan yang berbeda dengan budaya lain, sehingga setiap etnis salah satunya tionghoa memiliki ke unikan masing-masing dalam hukum adatnya yang berlaku sehingga menjadi sakral bagi etnisnya tersebut. Karena orang tionghoa memiliki tradisi dari generasi sebelumnya yang selalu terjaga dengan baik sehingga dijadikan sesuatu yang sangat luhur dan sakral, sehingga warga tionghoa selalu menjaga teradisi agar diharapkan bisa mendatangkan keberuntungan dan tidak terjadi suatu musibah atau bencana di dalam kegiatan atau acara tersebut.
Pada warga tionghoa ada banyak upacara yang biasanya dilakukan di kelenteng salah satunya yaitu pernikahan yang khas dengan etnis tionghoa, dengan itu pernikahan orang tionghoa menjadi salah satu cerminan ketahanan budaya bangsa yang masih ada pada saat ini. Dan pernikahan sendiri adalah hal yang penting untuk diketahui dan direstui oleh orang tua ke dua belah pihak, karena pernikahan tidak hanya berkaitan dengan dua insan saja tapi juga berkaitan dengan penyatuan yang baik antar dua marga bagi orang tionghoa. Dalam kitab Liji tionghoa dikatakan bahwa pernikahan itu adalah penyatuan dua marga, dan umumnya pernikahan antar semarga tidak diperbolehkan walau tidak memiliki hubungan darah bagi orang tionghoa. Pada ritual pernikahan tionghoa dalam bahasa mandarin disebut hunli atau bermakna ritual senja, yang dimana dikaitkan dengan kebiasaan orang tionghoa pada masa lampau melakukan pernikahan pada senja hingga malam hari dan kebiasaan ini masih berlangsung saat mereka melakukan resepsi pernikahan biasanya pada sore menjelang malam hari bagi yang masih melakukan secara asli.

B.  Rumusan Masalah
Dari hasil penjelasan latar belakang tentang adat perkawinan di etnis tionghoa sebagai cerminan ketahanan budaya bangsa yang sudah ada maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.      Bagaimana adat perkawinan yang ada pada orang tionghoa?
2.      Bagaimana tradisi yang ada pada perkawinan orang tionghoa?
3.      Bagaimana cara pernikahan etnis tionghoa bisa menjadi budaya ketahanan bangsa?

C.  Tujuan
Penulis dalam membuat tugas tersebut juga menyampaikan tujuan melakukan penelitian tersebut, yaitu sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui adat perkawinan yang ada pada orang tionghoa.
2.      Untuk mengetahui tradisi yang ada pada perkawinan orang tionghoa.
3.      Untuk mengetahui cara pernikahan etnis tionghoa bisa menjadi budaya ketahanan bangsa.

D.  Manfaat
Bagi penulis:
1.      Bisa mengkaji meteri kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
2.      Bisa mengetahui adat perkawinan di etnis tionghoa secara mendalam.
3.      Mengetahui budaya perkawinan pada orang tionghoa.
4.      Mendapatkan ilmu pengetahuan baru dalam sisi perbedaan antar budaya di Indonesia.
Bagi pembaca :
1.      Menambah pengetahuan baru mengenai adat yang ada pada orang tionghoa.
2.      Melatih kemampuan memahami dalam tata pengetahuan yang baik.



BAB II
LANDASAN TEORI

Dewi, L. C., Damajanti, (3-4) menarik kesimulan sebagai berikut.

1.    Pengertian Buku Panduan
        Buku pedoman atau panduan adalah buku yang berisi tentang “kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan ; hal pokok yang menjadi dasar (pegangan, petunjuk, dsb) yang perlu dikuasai untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.

2.    Tatacara Pernikahan menurut Budaya Tionghoa
Sejak zaman sebelum Dinasti Qin berkuasa hingga sekarang, proses tata cara pernikahan tradisional orang Tionghoa dapat dikelompokkan ke dalam enam tahapan antara lain:
  1. Na Cai, yaitu prosesi penyerahan hantaran dan melamar.
  2. Wen Ming, yaitu prosesi untuk menanyakan nama serta tanggal lahir pihak calon mempelai wanita.
  3. Na Ji,yaitu prosesi penentuan hari baik untuk mengadakan pertunangan.
  4. Na Zheng, yaitu prosesi penyerahan hantaran serta mas kawin pernikahan.
  5. Qing Qi, yaitu pembicaraan antara keluarga kedua belah pihak untuk menentukan tanggal pernikahan.
  6. Qin Ying, yaitu prosesi yang dilakukan pihak mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita.
Keenam prosesi ini biasa dikenal dengan istilah Liu Li (Enam Prosesi). Tata cara adat ini mengalami perubahan pada dinasti Zhou, prosesi ini diturunkan secara turun temurun meskipun kandungan maupun jumlah prosesinya mengalami banyak perubahan di beberapa bagian namun pengaruhnya masih sangat mendalam di masyarakat hingga masa Republik Tiongkok. Beberapa hari sebelum prosesi menjemput mempelai wanita, pihak keluarga si pria akan menghadiahkan beberapa barang serta pakaian berikut aksesorisnya yang akan dipergunakan ketika menaiki tandu. Hadiah yang diberikan kerabat mempelai wanita disebut Tian Xiang. Pada hari pernikahan, tandu ditaruh di depan rumah keluarga pria dengan maksud menguji kesabaran mempelai wanita sehingga ketika tinggal di rumah mertua kesabaran ini akan tetap terjaga dan mampu mengikuti segala peraturan yang berlaku di rumah tersebut. Setelah itu mempelai wanita dijemput dengan membawa botol berisi lima jenis biji-bijian, emas, dan perak. Saat berjalan diatas karpet merah, seseorang akan menaburkan biji-bijian dengan maksud mengusir roh jahat dan pada saat mempelai wanita memasuki pintu rumah mempelai wanita akan melangkahi sebuah pelana kuda yang terlebih dulu diletakkan sebagai symbol ketentraman. Selanjutnya dilanjutkan dengan prosesi tiga sembah di ruang keluarga yaitu mempelai menghormati langit dan bumi, menghormati pada kedua orang tua mempelai pria, kedua mempelai saling menghormati. Sesampai di kamar pengantin mempelai pria akan mengambil tongkat penimbang untuk membuka penutup wajah mempelai wanita. Kedua mempelai saling menuangkan arak kepada masing-masing pihak, memakan mie panjang umur. Pada malam hari kerabat dari kedua mempelai akan melangsungkan kebiasaan menggoda kedua mempelai dengan permainan atau biasa disebut dengan Nao Dong Fang. Esok harinya mempelai wanita datang ke rumah mempelai pria, acara ini disebut dengan Bai Jiu Gu. Selanjutnya juga dilakukan silaturrahmi dengan seluruh keluarga mempelai pria yang dinamakan Ren Da Xiao. Setelah tiga hari mempelai wanita akan memasakkan untuk mertua, jika mertua sudah meninggal maka mempelai wanita diharuskan pergi ke kelenteng untuk sembahyang. Setelah menikah mempelai wanita pergi menemui orang tuanya disebut Gui Ningatau Hui Niang Jia.

3.    Perkembangan Tatacara Pernikahan Tionghoa Masa Kini
Pada zaman sekarang tatacara pernikahan tradisi Tionghoa masih dipertahankan, akan tetapi ada beberapa prosesi yang sudah berubah dalam tatacara pelaksanaan, perubahan itu seperti prosesi dipersingkat atau digabung dengan prosesi yang lain seperti prosesi Sangjit digabung dengan prosesi Ting Jingatau lamaran. Selain itu terdapat juga beberapa tatacara yang sudah ditinggalkan karena dianggap terlalu rumit atau bahkan tidak diwariskan dari orangtua. Beberapa prosesi yang tetap dilakukan antara lain proses Na Zheng biasa dikenal dengan Ting Jing (lamaran), Jiao Bei Jiu (minum arak dari gelas pasangan dan dihabiskan),  Jin Jiu (menuangkan arak kepada orang yang lebih tua), dan prosesi tukar baki, dan beberapa tradisi yang masih dilakukan seperti lempar beras kuning dan payung merah dan lainnya. Tradisi ini mengalami perubahan seperti prosesi temu pengantin yang dilakukan dengan cara berjalan mundur sampai punggung mempelai pria dan wanita bersentuhan dan pada saat itu mereka diizinkan untuk memutar ke belakang melihat keduanya. Hal ini di modifikasi dari prosesi mempelai pria membuka penutup wajah mempelai wanita dengan menggunakan tongkat timbangan, kesamaan dari prosesi ini adalah mempelai pria dan mempelai wanita tidak dapat melihat keduanya Hal ini dibenarkan oleh Elisa Christiana, M.A, selaku dosen Sastra Tionghoa di Universitas Kristen Petra Surabaya dan pengamat perubahan budaya yang terjadi sekarang. 
Menurutnya budaya sesuai dengan zaman akan bergulir, perubahan zaman akan membuat pola berpikir berubah dengan masuknya nilai agama dan budaya-budaya asing, yang terpenting nilai-nilai itu tetap dipertahankan. Banyaknya masyarakat Tionghoa khususnya anak-anak muda masih tidak mengenal arti dari tradisi yang digunakan, mereka hanya mengikuti karena disuruh orang tua dan bukan kesadaran dari diri sendiri. Selain itu faktor yang membuat berkurangnya pengetahuan tradisi ini adalah orang tua, karena orang tua tidak mewariskan tradisi ini turun temurun sehingga tradisi itu dilupakan. Perkembangan zaman juga mempengaruhi, dengan zaman yang modern masyarakat berpikir untuk tidak mau repot dan tidak ingin ketinggalan mode (dapat dilihat dari pakaian kedua mempelai dan warna yang digunakan).



BAB III
METODE PENELITIAN
A.  Lokasi Pnelitian
Dalam memenuhi tugas ini, lokasi yang dikunjungi penulis dalam melakukan observasi dengan cara langsung menuju ke lokasi di kelenteng pecinan yang bernama Tay Kak Sie yang berada di jalan gang lombok No. 62, kota Semarang untuk mewawancarai narasumber yang bersangkutan dengan nama Bapak Sugeng yang disana selaku penjaga kelenteng Tay Kak Sie dengan bertanya yang akan diteliti tentang “adat yang ada pada perkawinan di etnis tionghoa”.
 




B.  Fokus Penelitian
Dalam menulis tugas, untuk yang saya fokuskan dalam penulisan ini adalah pada orang yang asli keturunan cina atau tinghoa. Sehingga dengan ini Bapak Sugeng selaku orang tionghoa yang dimana dia selalu mengikuti budaya adat tionghoa secara asli, sehingga beliau menjadi subjek dan objek yang saya fokuskan untuk bertanya mengenai adat yang ada pada perkawinan di etnis tionghoa.

C.  Waktu dan Tanggal Penelitian
Saya melakukan penelitian berlangsung pada tanggal 24 mei 2016, pada jam 14.00-16.30 WIB berada di kelenteng Tay Kak Sie yang berlokasi di daerah pecinan semarang yang berada pada jalan gang Lombok nomor 62 untuk melakukan wawancara terhadap warga yang ber etnis tionghoa.
D.  Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengerjakan tugas ini, peneliti menggunakan beberapa bentuk teknik dalam pengumpulan data yang digunakan dalam menyusun laporan ini. Yakni dengan mencari data melalui beberapa cara yakni:
1.      Wawancara dengan bertemu langsung dengan narasumber untuk berdialog dan tanya jawab secara terbuka supaya mendapat informasi data yang konkrit dari sumbernya langsung yang ber etnis tionghoa. Sehingga bisa mendapatkan informasi yang benar. 
2.      Dari buku-buku dan dari jurnal yang mempunyai inti yang membahas tentang masalah adat perkawinan di etnis tionghoa sebagai cerminan ketahanan budaya  bangsa. Yang buku tersebut didapatkan dari internet yang masih ada kaitannya dengan penelitian tersebut.
E.  Sumber Data
Untuk sumbernya sendiri ada yang dari wawancara langsung, jurnal, dan buku.
1)   Wawancara
Saya             : apa yang membuat pernikahan orang tionghoa menjadi lebih khas dari pada pernikahan etnis lainnya sehingga dijadikan menjadi ketahanan budaya bangsa?
Narasumber : yang menjadikan khasnya pernikahan adat tionghoa sendiri yaitu, karena pernikahan orang tionghoa asli berbeda dengan etnis yang lainnya. Misalkan ada sangjit yang mana sangjit sendiri yaitu yang melakukan seserahan itu haruslah pemuda atau gadis yang belum menikah sedangkan nantinya barang yang sudah diberikan calon laki-laki kepada calon perempua itu dikembalikan sebagiannya kepada  calon laki-lakinya tesebut. Yang mana diartikan sebagai perempuan tersebut nantinya bila terjadi keributan terhadap pasangan laki-lakinya orang tua si perempuan bisa ikut campur. Dan masih banyak lainnya, pastinya pada adat tionghoa itu setiap upacara itu mengandung arti tersendiri dan lebih banyak sekaligus menarik yang bisa membedakan engan adat budaya lainnya.
Saya            : kalau ritualnya itu apa saja yang dilakukan oleh warga tionghoa dalam  acara  pernikahan?
Narasumber : dalam ritual pernikahan dari tionghoa itu ada banyak diantaranya saja dalam pernikahan nantinya itu ada upacara sembahyang tuhan, yang mana setiap orang yang menikah itu diharuskan melakukannya. Di adat tionghoa biasa menyebutnya Cia Tao yang terdiri dari perhormatan kepada tuhan, penghormatan kepada alam, kepada orang tua, kepada leluhur, dan kepada kedua mempelai. Yang dimana itu semua nantinya bisa mendatangkan kebahagiaan dan ketenteraman dalam keluarganya  tersebut.
Saya             : serta biasanya ada aturan apa saja yang diterapkan dalam acara pernikahan orang tionghoa?
Narasumber : aturannya sendiri misalkan pada saat lamaran yaitu calon peria harus memberikan sesuatu kepada calon wanita yang memiliki nominal sebanyak jiu atau fat (9 atau 8) yang dimana nominal itu diartikan sebagai kunci pokok kelanggengan pernikahan dan bisa menumbuhkan kebahagiaan bagi kedua mempelai. Dan ada juga menghias kamar pengantin itu harus menggunakan menghiasi kamar dengan warna merah yang malambangkan sebagai lambang kebahagiaan dan semangat hidup serta di beri hiasan lampu lentera yang mengartikan pernikahan ini akan bisa menerangi bagi pasangan dalam melangkah dalam kekeluargaan, serta di dalam kamar ditempeli pula gambaran-gambaran bebek peking, naga dan burung phoenix yang semua itu harus berpasangan, dan masih banyak lainnya. Aturan  adat  yang  lain  adalah sangat  ditaburkan  seorang  perempuan kawin  mendahului  kakak  perempuannya. Koenjaraningrat (2002) menyatakan seorang laki-laki tabu kawin mendahului kakak laki-lakinya. Sebaliknya, adik perempuan boleh kawin mendahului kakak laki-lakinya  dan  adik laki-laki  juga  boleh  kawin  mendahului kakak perempuannya. Bila terjadi keadaan yang  memaksa  tidak  ditaatinya  adat  ini, maka laki-laki atau perempuan yang akan kawin  harus  memberikan  barang  kepada kakaknya  yang   dilangkahi.

Saya            : bisa dijelaskan, dalam menghias kamar sendiri itu mengandung arti apa saja?
Narasumber : dalam menghias kamar sendiri itu memiliki arti bahwa biasannya jika kamar tersebut sudah dihias dengan rapi maka di dalam kamar  tersebut biasanya ditiduri oleh bayi atau balita yang nantinya bayi tersebut melambangkan mudah dalam diberi momongan dan kebahagiaan.
Saya            : apa saja tahapan-tahapan dalam suatu prosesi pernikahan pada orang tionghoa sendiri?
Narasumber : nah itu terbagi menjadi enam tahapan, yang pertama na cai, wen ming, na ji, na zheng, qing qi, qin ying.
Saya             : dan upacara apa saja yang biasanya dilangsungkannya pernikahan orang tionghoa?
Narasumber : kalau upacara yang biasanya dilakukan itu ada banyak mulai  dari sebelum pernikahan itu ada, prosesi pernikahan ada, sesudah pernikahan juga ada sehingga sangat banyak.
Saya             : acara atau upacara apa saja yang dilakukan oleh orang tionghoa  sebelum melakukan pernikahan?
Narasumber : untuk sebelum melakukan pernikahan sendiri yaitu ada sesi lamaran kepada pihak wanita, seserahan atau sangjit, menghias kamar pengantin, upacara kepada leluhur, acara tea pay atau para calon memperkenalkan kepada pihak keluarga calonnya masing-masing.
Saya             : bagaimana akibatnya jika pihak perempuan menolak yang awalnya menolak lamaran dari pihak laki-laki lantas segi ekonomi pihak laki-laki yang kurang mampu?
Narasumber : kalau itu kan tergantung pihak perempuannya, jika dalam pernikahan itu masih menggunakan sistem mak comblang. Maka pada waktu itu si pihak perempuan diberi kesempatan untuk melihat foto, biodata, identitas diri, pekerjaan si pihak laki-laki. Dan jika pihak perempuannya menolak tidak apa-apa karena itu pihak perempuannya bebas memilih dan menolak.
Saya            : mengapa dalam acara lamaran terdapat mak comblang, padahalkan kedua pasangan tersebut bisa mencari jodohnya sendiri?
Narasumber : itu kalau pihak laki-laki dan perempuannya yang dalam melakukan menikah ingin dicarikan oleh orang tuannya dan itu pula terjadi pada masa nenek moyang tionghoa. Dikhawatirkan kalau mencari sendiri takut disalahkan oleh orang tua sehingga lebih baik dicarikan oleh orang tuanya yang terbaik dengan melalui perantara mak comblang tersebut sebagai penemu jodoh pihak laki-laki dan perempuan.
Saya             : serta dalam tionghoa sendiri biasanya dalam lamaran itu apa saja yang harus diberikan pihak laki-laki ke pihak perempuan?
Narasumber : biasanya yang diberikan itu uang atau perhiasan bagi calonnya, peralatan mandi, satu set tea pay, sepasang kaki babi, buah-buahan sebanyak tiga nampan yang berisikan dan yang pastinya 18 macam buah yaitu yang manis-manis.
Saya             : acara apa saja yang dilakukan oleh orang tionghoa pada saat prosesi pernikahan?
Narasumber : acara pada saat prosesi pernikahan sendiri yaitu hanya dilakukan di kelenteng dengan mendatangkan pandeta dan catatan sipil sebagai pengesahanya acara pernikahan tersebut. Sehingga di kelenteng hanya menjadi tempatnya upacara pernikahan berlangsung agar mendapatkan penghormatan kepada tuhan dan nenek moyang yang nantinya bisa mendapatkan kelanggengan dalam pernikahan tersebut.
Saya             : kapan waktu yang biasannya dilakukannya acar pernikahan tionghoa yang dianggap menurutnya baik-baik?
Narasumber  : kalau untuk waktu pernikahan tionghoa sendiri yaitu harus diperhatikan betul-betul mulai jam, hari, dan bulan yang baik. Kalau untuk jamnya sendiri yang baik yaitu biasannya ketika sebelum matahari tegak lurus, sedangkan harinya yaitu menggunakan bulan tionghoa sendiri, sedangkan bulan yang baik itu adalah menjelang bulan purnama.
Saya            : apakah boleh orang tionghoa menggunakan jam, hari, tanggal selain itu?
Narasumber : boleh saja menggunakan selain itu, karena itu tadi yang dianggap baik dan bisa mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan atau kelanggengan kelak ketika sudah menikah.
Saya             : dalam pernikahan tionghoa sendiri siapa saja yang  biasanya dikaitkan atau diikutkan dengan pernikahan orang tionghoa yang nantinya bisa menjadi sah atau penting?
Narasumber : pastinya orangtua mempelai tersebut, karena dialah yang bisa menjadikan penting jika ada acara untuk pengenalan kepada si calon. Dan tak lupa sanak keluarga terdekat serta pandeta sebagai pengesahnya pernikahan tersebut, serta catatan sipil.
Saya              : dan acara apa saja yang dilakukan oleh orang tinghoa jika setelah melakukannya pernikahan?
Narasumber : biasanya untuk itu acara atau upacara itu kedua pengantin melakukan pesta. Dan disitu pula ada acara teh pei, cia kiangsay, dan cia ce’em.
Saya             : apa saja maksut dari teh pei, cia kiangsay, dan cia ce’em?
Narasumber : teh paei sendiri itu biasannya dari pihak kedua keluarga memberikan hadiah sekaligus nasihat kepada kedua mempelai sebagai pembangun keluarga mempelai, sedangkan cia kiangsay itu mempelai pria dibawa oleh mempelai perempuan untuk diperkenalkan kepada keluarganya, dan cia ce’em sendii yaitu kebalikan dari cia kiangsay yang mana mempelai peria memperkenalkan mempelai perempuannya kepada keluarganya.
Saya             : apakah ada mitos atau keyakinan dari leluhur, jika tidak melakukan salah satu dari ritual tersebut?
Narasumber : kalau itu masih tetap ada, kerena itu pada waktu itu pula nenek moyang melakukan itu semua pastinya kan ada sebabnya sendiri mengapa diadakan itu. Tapi sekarang ada pula warga tionghoa yang sudah memilih pernikahan tiongho dirubah menjadi pernikahan yang lebih moderen, sehingga setiap kegiatan-kegiatan itu ada yang gabungkan jadi satu. Sehingga adat pernikahan tionghoa sekarang ini mulai bergeser.
Saya            : dimana saja dilakukannya adat  pernikahan untuk selain di kelenteng?
Narasumber : untuk kelenteng sendiri yaitu fungsinya sebagai tempat acara-acara seperti waktu prosesi pernikahan saja yang lokasinya harus ditempat rumah tuhan ini biar pernikahannya bisa diberkati, sampai acara pernikahan itu selesai dan sah. Baru setelah itu pernikahan tersebut boleh dilakukan di gedung atau hotel sebagai wujut pesta perayaan pernikahan.
Saya              : apakah ada yang bisa mempengaruhi pada saat upacara pernikahan tionghoa?
Narasumber : ya, jelas ada. Misalnya saja mengusir setan atau makhluk jahat, pengaruh dari agama pun ada biasannya ada yang melakukan sesi pernikahannya di gereja tidak di kelenteng, dan biasannya masyarakat pun lebih suka melakukan pernikahan yang lebih peraktis dari pada pernikahan yang secara tradisional.
Saya             : mengapa ada pula pernikahan orang tionghoa memilih pernikahan secara moderen dari pada secara tradisional yang menurut nenek moyangnya?
Narasumber : karena dimasa sekarang ini masyarakat beranggapan memilih pernikahan secara moderen karena lebih memilih keperaktisn dan kemudahan dari pada menurut nenek moyang yang masih teradisional karena memerlukan waktu yang lama dan terlalu banyak acara dan upacara sehingga membuat orang menjadi lebih kesulitan dan mungkin sudah tidak sabar.
Saya             : dan cara apa saja yang dilakukan untuk menjaga budaya tionghoa agar tetap ada dimasa yang akan datang?
Narasumber : untuk saat ini memang sulit mengajak etnis tionghoa melakukan pernikahan yang masih asli, dikarenakan mereka semua ingin lebih simpel dan moderen. Tapi itu semua bisa diwujutkan dengan mengajak generasi muda-muda saat ini untuk bisa mengetahui wawasan tentang adat tionghoa yang diharapkan agar tidak hilang ditelan oleh masa.

2)   Jurnal
Widodo (2015:56). menarik kesimpulan sebagai berikut.
Operasional  dari  budaya organisasi  adalah  perilaku,  nilai,  dan  asumsi dasar  orang  Tionghoa  yang  tercermin  dari keberanian  mengambil  resiko,  agresifitas organisasi,  dan  perlakuan  organisasi  terhadap pelanggan reatail tradisional. Ketiga karakteristik tersebut  diharapkan  dapat  menjadi  strategi organisasi  yang  dapat  meningkatkan  kinerja organisasi.  

Wardana (1998:7) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang artinya Indonesia kaya dengan keragaman tetapi merupakan satu kesatuan. Namun dalam prakteknya hal ini sering terlupakan dan tenggelam dalam berbagai konflik antar etnis, banyak diantaranya timbul akibat prasangka yang berlebihan. Namun hal ini nampaknya sedikit demi sedikit dapat berkurang seiring dengan berlangsungnya modernitas dan majunya pendidikan. Hidup berbaur dengan masyarakat yang heterogen, akan membuat pikiran menjadi lebih terbuka sehingga dapat memahami akar permasalahan yang ada dengan lebih baik sehingga tidak muncul prasangka yang tidak perlu. Meskipun demikian, tetap ada sejumlah unsur identitas yang masih ingin ditampilkan sebagai keturunan Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum warga Tionghoa masih memiliki kebanggaan tersendiri mengenai asal muasalnya, tetapi tetap merasa Indonesia sebagai tanah airnya, sehingga ketionghoaan tidak dapat dihilangkan begitu saja dari warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika itu sendiri menekankan adanya perbedaan dalam masyarakat Indonesia, jadi seharusnya perbedaan yang ada tidak menjadi masalah dalam menjaga kesatuan di Indonesia.

F.   Alat Pengumpul Data
Alat yang saya gunakan dalam pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Wawancara, dengan mengadakan wawancara secara terbuka dengan Narasumber atau informan yang berhubungan dengan materi penelitian ini, yakni orang yang ber etnis tionghoa sehingga lebih mengetahui hal-hal yang lebih rinci dan lebih mendalam sehingga tidak dapat dijelaskan atau ditemukan jawaban nantinya. Sehingga dengan adanya wawancara langsung dengan narasumber diharapkan dapat memperoleh data yang lebih luas dan akurat untuk menunjang penulisan tugas penelitian ini. Dengan menggunakan sebuah catatan pertanyyan berisi wawancara dan perekam suara.
2.      Buku, dengan membaca buku-buku nantinya akan lebih tau banyak dan lebih terperinci mengenai bahasan adat perkawinan di etnis tionghoa. Yang dimana buku tersebut saya temukan dari ebook atau sumber lainnya dari internet atau perpustakaan.
3.      Jurnal, dengan mengambil dari jurnal nantinya dalam malakukan penelitian akan lebih banyak pendapat-pendapat atau saran-saran dari  banyak orang yang mengenai tentang adat perkawinan di etnis tionghoa. Sehingga saya lebih tau banyak tentang pengetahuan mengenai etnis tionghoa dalam perkawinan. Dengan hanya menggunakan alat sebuah laptop dan sinyal internet yang terhubung.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.      HASIL PENELITIAN
Berdasarkan penelitian observasi saya yang jatuh pada tanggal hari selasa tanggal 24 Mei 2016, yang berlokasi di daerah pecinan jalan gang lombok no 62. Dengan melakukan tanya jawab soal tentang “adat yang ada pada perkawinan di etnis tionghoa sebagai budaya cerminan bangsa” kepada kepada salah satu orang yang beretnis tionghoa yaitu bernama bapak Sugeng selaku penjaga kelenteng Tay Kak Sie. Dengan itu saya mendapatkan beberapa informasi tentang adat pernikahan di etnis tionghoa sebagai budaya bangsa sendiri yaitu karena dalam pernikahan di etnis tionghoa itu berbeda dengan etnis lainnya yang biasanya dalam satu hari bisa selesai, sedangkan di etnis tionghoa sendiri untuk yang masih melakukan adat tradisi tionghoa asli itu biasanya bisa lebih dari satu hari.
Dikarenakan terlalu banyak acara sehingga berbeda dengan etnis yang lainnya, dalam sebelum upacara pernikahan saja ada upacara-upacara atau adat acara sendiri, selanjutnya prosesi pernikahan itu pun hampir sama dengan pernikahan adat etnis lainnya karena dalam melakukan prosesi pernikahan sendiri itu kedua calon di arahkan ke tempat ibadah atau kelenteng karena sebagai bentuk peghormatan kepada tuhan dan leluhur untuk berdo’a meminta kebahagiaan dan ketenangan ketika menjalani rumah tangga yang mana dalam proses pernikahan tersebut pula dihadiri banyak orang, kedua orang tua, pandeta, beserta catatan sipil sebagai tanda bukti sudah menikah, setelah itu pun pengantin diperbolehkan meninggalkan kelenteng untuk melakukan pesta pernikahan di  gedung ataupun di hotel atau di rumah salah satu pihak, sedangkan setelah upacara pernikahan pun itu masih ada acara lagi sehingga itulah yang membedakan adat etnis berbeda atau memiliki ciri khas dari pada etnis yang lainnya.
Tetapi setelah saya tanya-tanya ternyata adapula warga tionghoa yang dalam melakukan pernikahan sudah ada  yang meninggal kan upacara-upacara dalam etnisnya sehingga tidak sama dengan apa yang diajarkan oleh leluhurnya, yang dikarenakan warga tionghoa ingin memilih keperaktisan atau yag simpel. Tapi untuk di kelenteng Tay Kak Sie masih melestarikan pernikahan apa yang diajarkan oleh leluhurnya sehingga masih asli dan sakral. Sehingga untuk bapak sugeng sekarang ini menghimbau kepada generasi muda-mudi tionghoa untuk tetap mempertahankan budaya yang ada di etnisnya tersbut sebagai budaya Indonesia agar tidak hilang ditelan oleh masa, karena bagaimana pun itu dari leluhurnya sehingga apa yang ada di adat tionghoa salah satunya pernikahan itu harus dijaga sebab itu semua mengandung makna dan arti sendiri bagi yang malakukan pernikahan yang nantinya bisa hidup tenang bersama keluarga hingga akhir hayat.
Dan menurut bapak Sugeng sendiri pada saat ini memang warga tionghoa sendiri sudah banyak yang melakukan ibadah gereja dibandingkan kelenteng yang nantinya warga tionghoa bisa berpindah agama. Yang menjadikan sebab itu semua adalah di tionghoa sendiri terlalu banyak mitos, tahayul, kebiasaan, dll. Padahal anggapan itu adalah salah bahwasannya itu memang bisa mendapatkan keberuntungan tersendiri bagi umat tionghoa yang selalu menjalankan acara atau upacara-upacara tersebut.
Koentjaraningrat. (1987) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Masyarakat Tionghoa Indonesia itu memang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat asli Indonesia. Seperti juga masyarakat Tionghoa di Indonesia, kebudayaan yang mereka miliki berbeda dengan kebudayaan masyarakat pribumi. Mereka memiliki norma-norma, pandangan, pedoman yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari, dengan masyarakat pribumi. Selain itu, perbedaan budaya yang paling mencolok dari masyarakat Tionghoa dan pribumi adalah kepercayaannya. Masyarakat Tionghoa kebanyakan memeluk agama Konghucu atau Tao yang merupakan kepercayaan dari negeri Cina

B.       PEMBAHSASAN
1.    Adat Perkawinan Yang Ada Pada Orang Tionghoa.
Suryadinata (2005:1) menyimpulkan “Secara budaya masyarakat Tionghoa Indonesia dapat dibagi menjadi dua kalangan peranakan berbahasa Indonesia dan kalangan totok berbahasa Tionghoa”. Listiyani (2011:125) menyimpulkan. Pertama disebut dengan golongan peranakan, yaitu generasi imigran Cina yang hidup turun-temurun di Indonesia yang sudah tidak lagi condong ke negeri Cina dan telah menganggap Indonesia sebagai bangsa asli mereka. Golongan kedua adalah golongan ‘Totok’ yaitu mereka yang telah hidup turun temurun namun pada umumnya masih fanatik menggantungkan loyalitas kepada leluhurnya di negeri Cina.Sehingga alam pernikahan tionghoa sendiri yaitu merupakan kegiatan yang paling paling dinanti oleh orang tionghoa yang sudah dewasa sehingga menjadi acara yang sangat luar biasa dalam kehidupan seseorang yang mana laki-laki atau perempuan sudah bisa mencari pasangan hidupnya  untuk membentuk keluarga sendiri dan membentuk keturunan mereka yang bisa menjadikan generasi selanjutnya untuk orang tionghoa. sehingga untuk melakukan pernikahannya pun pada orang tionghoa dengan melihat hari, jam dan tanggal yang baik untuk melakukan pernikahan sebagai bentuk harapan supaya yang melakukan pernikahnnya langgeng sampai akhir hayat mereka dan itu semua merupakan hal yang wajib diperhitungkan bagi tradisi etnis tionghoa. Dalam acara pernikahan tionghoa tidak hanya sebagai simbol formalitas bahhwa laki-laki dan perempuan sudah menikah, tapi orang cina harus menganggap bahwa dalam melakukan pernikahan tersebut haru sakral sesuai yang sudah dilakukan oleh geneasi sebelumnya disamping iu pula agar adat pernikahan pada etnis tionghoa tidak musnah.
Dalam melakukan pernikahan pada etnis tionghoa itu harus beda marga atau keluarga supaya berfungsi untuk melindungi kelurga yang masih sedarah yang nantinya bisa menjadikan merusak marganya tersebut. Upacara pernnikahan orang-orang tionghoa yang pindah ke Indonesia pastinya membawa adat yang ada pada orang masyarakat tionghoa asli yakni salah satunya dalam pernikahan yaitu orang tionghoa dilarang menikahi dalam satu marga yang sama karena dianggap masih memiliki hubungan keluarga. Tapi pula dalam pernikahan orang tionghoa masih ada yang menikahi dalam satu marga karena keluarga takut hartanya akan jatuh ke orang lain yang berbeda marga. Dalam acara pernikahan masyarakat tionghoa itu terdapat beberapa aturan-aturan khusus yaitu: Menikahi, Membawa barang pernikahan, membawa hantaran pernikahan, tunangan, menjemput pengantin. Pada awalnya bila laki-laki atau orangtua laki-laki tertarik pada seorang gadis maka mereka mengutus seorang mak comblang ke rumah gadis untuk bertemu orang tua gadis tersebut untuk bertemu dengan orang tuanya dengan membawa hantaran pinangan dari pihak laki-laki. Bila kedua pihak semuanya sepakat akan tawaran dari mak comblang tersebut maka dibuatlah acara  tunangan untuk keduanya.

2.    Tradisi Yang Ada Pada Perkawinan Orang Tionghoa
Dalam beberapa golongan etnis memiliki tradisi-tradisi yang khas dan berbeda, yang diantaranya masyarakat tionghoa dalam menjalankan perkawinan itu biasanya didasarkan atas dasar dan bersumber kepada kekerabatan, keluhuran, dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga yang diharapkan tidak putus dalam menjalin hubungan antar kekerabatan. Salah satu adat yang seharusnya orang tionghoa taati adalah keluarga yang satu marga dilarang menikah, karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan keluarga atau hubungan sedarah. Pada upacara budaya tionghoa terdapat pengaruh budaya setempat yang dapat ditemukan dalam bentuk sajian dalam persembahyangan seperti kue peranakan lapis legit, kue pepe, bika ambon, kue bugis, dll. Dan juga upacara saweran dengan beras kuning dan uang logam yang merupakan budaya Sunda yang menyatu dengan budaya Tionghoa. Terdapat perbedaan dan penyesuaian di dalam melihat adat istiadat pernikahan yaitu terutama dipengaruhi  oleh adat lain, adat setempat, agama, pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.

3.    Pernikahan Etnis Tionghoa yang Bisa Menjadi Budaya Ketahanan Bangsa
Dengan adanya acara atau upacara-upacara yang ada pada etnis tionghoa menajdikan budaya tersendiri bagi etnis yang lainnya sehingga pada etnis tionghoa pada saat perkawinan terdapat pesta dan upacara pernikahan yang merupakan peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Pada etnis pernikahan orang tionghoa mempunyai upacara-upacara antara lain:
a.        Upacara Ketika Mendekati Pernikahan. Dalam pernikahan orang tionghoa sendiri dalam uapacara yang mendekati pernikahan tedapat beberapa tahapan, yaitu:
1)   Lamaran.
Dalam tradisi tionghoa untuk waktu lamaran biasanya dilakukan seminggu sebelum acara pernikahan berlangsung. Lamaran sendiri yaitu pemberian barang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang nantinya akan digunakan oleh pihak perempuannya untuk kehidupannya setelah pernikahan berlangsung. Dalam acara lamaran tionghoa sekarang bisa dengan membelikan barang-barang atau aksesoris bagi calon mempelai perempuannya yang berbentuk perhiasan kawin dengan bentuk yang menyesuaikan adat perkawinan etnis asli tionghoa, karena pada tionghoa untuk barang atau aksesoris pada waktu lamaran sediri yaitu memiliki arti sendiri yang bisa membut perikahan kedu belah pihak tersebut bisa langgeng. Hidayat (1993) menyimpulkan “Esensi  perkawinan  bagi  perempuan adalah  untuk  kepentingan keberlangsungan  pemujaan  arwah  leluhur dari pihak suami, pelayanan kepada suami dan keluarga suami, melahirkan keturunan yang dapat melanjutkan  pemujaan kepada leluhur”. Maka dari itu perempuan tionghoa kalau sudah dewasa dan belum memiliki jodoh harus siap dilamar oleh laki-laki.

2)   Penentuan saat yang baik untuk perkawinan
Suliyati (221) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Dalam  adat  perkawinan  masyarakat Tionghoa ada kebiasaan untuk menghitung peruntungan calon mempelai melalui  feng shui  dengan menghitung unsur-unsur pada shio  masing-masing.  Jika  seandainya ditemukan  ketidak cocokan,  maka  ada berbagai  macam  cara  pemecahan  yang bisa  dipilih  berdasarkan  perhitungan  feng shui.  Perhitungan  feng shui  terkait dengan jam,  hari,  tanggal  dan  tahun  pelaksanaan perkawinan.  Untuk  menghitung  saat  yang baik  ini  diperlukan  bantuan  seorang  ahli kwamia  sian  atau  feng  shui  sianseng (orang  yang  sangat  paham  tentang perhitungan  jam,  hari,  tanggal,  bulan  dan tahun  yang  baik  dan  membawa keberuntungan).

3)   Seserahan atau Sangjit
Dalam kegiatan sangjit di tionghoa juga haarus mencari hari dan waktu yang baik untuk melakukan kegiatan sangjit sama seperti pada prosesi lamaran. Tapi pada masa moderen sekarang ini ada juga yang melakukan sangjit di barengkan dengan waktu prosesi lamaran karena untuk mempersingkat waktu pernikahan, ini pun sebenarnya tidak baik. Karena sangjit sendiri itu memiliki arti seserahan yang dilakukan oleh pihak wanika ke pihak laki-laki , tapi jika digabungkan dengan lamaran yang dilakukan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan waktunya itu terlalu singkat. Dan waktu sangjit sendiri itu berkisar antara satu bulan sampai mendekati acara pernikhan berlangsung. Suliyati (221-222) menarik kesimpulan sebagai berikut. Untuk selain makanan ada barang-barang lain seperti pakaian, sandal, sepatu, alat make-up, accessories, perhiasan, uang susu yang dibungkus  kertas  merah (angpao) dan lain sebagainya. Barangbarang untuk seserahan dibawa  oleh beberapa pemuda dengan harapan agar para pemuda ini cepat mendapatkan jodoh. Barang-barang  seserahan  ini  tidak diambil  seluruhnya  oleh  keluarga  calon mempelai wanita, sebagaian dikembalikan termasuk uang susu.
4)   Acara Menghias Kamar.
Dalam acara menghias kamar calon pengantin yaitu dilakukan dalam waktu seminggu sebelum hari acara pernikahan. Untuk menghias kamar sendiri itu masih dilakukan oleh kerabat yang sudah mennikah kedua mempelai laki-laki sendiri dan perempuan sendiri. Tapi sehubung sekarang ini masa moderen untuk melakukan menghias kamar tidak dilakukan oleh orang tuanya tetapi dilakukan oleh pembatu yang bekerja di rumah penganti tersebut yang berekonomi tinggi. Dengan menghiasnya kamar sendiri selalu menggunakan warna ciri khas orang tionghoa yaitu warna merah sebagai tanda kebahagiaan dan semangat hidup dan juga dihiasi lampu lentera, gambaran dari kertas berupa gambar naga atau burug phoenix yang berpasang-pasangan.

5)   Menyalakan Lilin
Suliyati (222) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Beberapa hari menjelang (biasanya 3 hari )acara  perkawinan  ada  tradisi  yang  wajib dilakukan oleh  kedua orang tua calon mempelai  yaitu  tradisi  menyalakan   lilin yang berwarna mearah. Lilin dinyalakan pada dini hari (sekitar pukul  satu) dan harus tetap dijaga supaya menyala sampai tiga  hari  setelah  acara  pernikahan.  Nyala lilin sanyat dipercaya dapat mengusir bala dan  pengaruh  buruk  serta  bermakna sebagai  penerang  kehidupan yang akan dijalani kedua mempelai.

6)   Siraman
Suliyati (223) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Pada  pagi  hari  sebelum  dilakukan  acara siraman  calon  mempelai  laki-laki  dan calon mempelai perempuan melakukan penghormatan dan pemujaan  kepada leluhur di rumah masing-masing. Selanjutnya  acara  siraman dilakukan  terhadap  calon  mempelai  laki-laki  dan  calon  mempelai  perempuan  di rumah  masing-masing.  Kedua  calon mempelai  dimandikan  dengan  air  yang diberi  wewangian  dan  bunga  mawar, melati, kenanga dan daun pandan. Makna tradisi siraman  adalah  untuk membersihkan diri dari segala hal yang buruk  serta  untuk  menolak  bala. Acara siraman ini dilakukan oleh orang tua dari kedua mempelai  dan  kerabat  dekat  yang telah menikah.


7)   Menyisir Rambut.
Suliyati (223-224) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Setelah  acara  siraman selesai calon mempelai perempuan diberi pakaian putih
dan diminta  duduk  di  atas  kursi yang dialasi  tampah  besar  yang  terbuat  dari bambu, yang diberi gambar lambang yin-yang. Simbol yin-yang bermakna keharmonisan  dalam  arti  yang  luas,  yaitu keharmonisan  hubungan  antara  sesama manusia  dan  keharmonisan  hubungan antara  manusia  dengan  lingkungan  alam dan mahluk-mahluk yang ada di sekitarnya. Selanjutnya dilakukan upacara tradisi  chio thao  yaitu    tradisi  menyisir  rambut  calon mempelai perempuan. Beberapa  benda  pelengkap  tradisi menyisir  rambut  calon  mempelai perempuan,  seperti  alat  penakar  beras yang  penuh  berisi   beras,  timbangan  obat China, alat pengukur panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita, benang sutera lima warna,  yang  kesemuanya  diletakkan  di atas meja kecil di hadapan calon mempelai perempuan.  Benda-benda ini mengandung ajaran  moral  yang  sangat  berguna  bagi kedua   mempelai  dalam  mengarungi kehidupan rumah tangga. Acara  menyisir  rambut  calon mempelai  perempuan  ini  dilakukan  oleh ibu atau kerabat perempuan yang harmonis rumah  tangganya dan memiliki keturunan yang  baik. Calon mempelai perempuan akan  disisir  sebanyak  empat  kali.  Setiap kali  menyisir  akan  diucapkan  doa  yang maknanya sebagai berikut :Sisiran  pertama  diucapkan  doa  yang bermakna  ”hidup  bersama  sampai akhir hayat”, Sisiran  kedua  diucapkan  doa  yang bermakna “rumah  tangga  yang bahagia dan  harmonis ”, Sisiran ketiga diucapkan doa yang bermakna “diberkati  dengan banyak keturunan yang baik”, Sisiran keempat diucapkan doa yang bermakna  "diberkati dengan kesehatan dan umur panjang”.
                                        
8)   Kegiatan Tea Pay.
Untuk kegiatan tea  pay sendiri itu seperti memperkenalkan calon mempelai laki-laki atau perempuan kepada orangtua atau sanak keluarga dari salah satu pihak. Dalam kegiatan ini pula terdapat upacara jualan teh sebagai bukti penghormatan agar mau mendoakan pernikahannya menjadi pasangan keluarga yanng bahagia.


b.                           Upacara Menjelang Hari Pernikahan
Pada menjelang hari pernikahan dilakukan yaitu sekitar satu mingguann ketika menjelang hari pernikahannya, keluarga calom mempelai laki-laki datang ke rumah keluarga calon mempelai perempuan dengan membawakan barang-barang yang di diperlukan, tapi untuk calon mempelai laki-laki dilarang mendekati calon mempelai perempuan sampai hari perikahnnya berlangsung.

c.                            Upacara Sembahyang Tuhan
Untuk waktunya sendiri dalam sembahyang tuhan yaitu tengah malam sebelum menjelang pernikahan yang berlangsung esok pagi yang diharapkan agar permohonan yang dimintai oleh calon yang menikah tersebut bisa terkabulan. Dan diantaranya dengan memohon kepada tuhan, alam, leluhur, orang tua, dll.

d.                           Perniakahan
Untuk prosesi pernikahan sendiri yaitu dilakukan di kelenteg dengan mendatangkan pandeta dan catatan sipil. Sehingga di kelenteng hanya menjadi tempatnya upacara pernikahan berlangsung dan penghormatan kepada tuhan serta leluhur yang semoga nantinya bisa mendapatkan kebahagiaan kelak ketika sudah menikah. Kelenteng sendiri yaitu :
Primayudha, N., Purnomo, H., Setiyani, (2014:4) menarik kesimpulan sebagai berikut.
Vihara adalah rumah ibadah agama Budha, bisa juga dinamakan kuil. Terdapat juga istilah  Kelenteng  yang  dapat  diartikan  sebagai  rumah  ibadah  penganut  taoisme, maupun  konfuciusisme,  Namun  di  Indonesia  terjadi  sedikit  perbedaan  penafsiran terhadap istilah ini, karena orang yg dating ke vihara/kuil/kelenteng, umumnya adalah etnis  tionghoa,  maka  menjadi  agak  sulit  untuk  di  bedakan.  Banyak  dari  khalayak umum  yang tidak mengerti  perbedaan  dari  klenteng  dan  vihara.  Klenteng  dan  vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsinya.rancangan bangunan Klenteng dibuat dengan langgam arsitektur tradisional Tionghoa, berfungsi untuk kegiatan keagamaan dan spiritual juga dapat berfungsi sebagi tempat aktivitas  sosial  masyarakat.  Sedangkan,  bangunan  Vihara  memiliki  rancangan bangunan yang berasimilasi dengan arsitektur lokal dan cenderung berfungsi kegiatan spiritual. Namun ada beberapa vihara yang memiliki rancangan arsitektur tradisionalTionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana dari Tiongkok.

e.                            Upacara Penghormatan Kepada Orang Tua dan keluarga
Ketika sudah melakukan pernikahan di kelenteng, kedua calon mempelai dikembalikan kerumah untuk melakukan peghormatan kepada kedua orang tua, keluarga, dan kerabat dekatnya. Untuk setiap penghormatan harus dibalas dengan ang pau entah itu berupa uang atau perhiasan. Untuk penghormatannya sendiri dengan posisi bersujut lalu bangun dihadapan kedua keluarganya.

f.                             Upacara Setelah Acara Pernikahan
Setelah selesai melakukan upacra penghormatan dengan menggunakan pakain yang mencirikan adat orang tionghoa, setelah itu kedua mempelai laki-laki dan perempuan pakaiannya diganti dengan pakaian yang diminati oleh kedua mempelai untuk melanjutkan acara pesta pernikahan di tempat lain yakni hotel atau gedung sebagai wujut perayaan pernikahan. Widy (2004) menyimpulkan Mempelai perempuan memulai perannya sebagai  istri yang harus mengabdi dan berbakti kepada suami dan keluarga suaminya dan mulai saat itulah, mempelai perempuan tinggal  bersama  dan  serumah  dengan keluarga mempelai laki-laki. Sedanghan dalam upacara yang dilakukan sesudah acara pernikahan memiliki acara-acara tersendiri, yaitu: acara teh pei, cia kiangsay, dan cia ce’em. Sihabuddin (2011, h. 204) menyimpulkan “efektivitas komunikasi antar pribadi dan antar kelompok sangat ditentukan oleh faktor keterbukaan, empati, serta perasaan positif yang memberikan dukungan dan keseimbangan”.  Maka dari itu untuk dalam beberapa pernikahan sendiri haruslah ada saling keterbukaan.
                                                                                



BAB V
PENUTUP

A.  Simpulan
Pernikahan pada adat etnis tionghoa yang dilaksanakan bedasarkan cerminan ketahanan budaya, agama dan kepercayaan menyakinkan bahwa asal-usul dan juga proses pernikahan sebagai akulturasi budaya sejarah keberadaan pada masyarakat tionghoa di Indonesia. Yang pada dasarnya perkawinan pda orang tionghoa di kota semarang khususnya di daerah pecinan jalan gang lombok masih melakukan pernikahan sesuai adat tionghoa secara asli dan tetap sakral. Meskipun banyak kelenteng di kota pecinan semarang yang ada melakukan adat pernikahan secara moderen karena beralasan lebih simpel. Keunikan tersendiri bagi masyarakat yang memiliki budaya tionghoa yang melakuan perkawinnan akan membentuk ciri khas budaya indonesia sendiri. Yang menjadikan kekhasan dari etnis tionghoa seniri yaitu karena adaya pernikahan masyarakat tionghoa dilakukan berdasarkan adat turun-temurun dari nenek moyang yang pada generasi sebelumnya, dan juga menurut kitab-kitab yang ada pada agama tionghoa sendiri.
Dalam perkawinan etnis tionghoa terdapat aturan-aturan tertentu yang antara lain harus seiman, perkawinan antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga yang sama tidak diperbolehkan. Upacara pernikahan tionghoa tergantung pada agama yang dianutnya, dan dalam pelaksanaan pernikahan adat tionghoa sendiri terdapat upacara-upacara yang harus dilewati dari sebelum pernikahan sampai dengan setelah pernikahan, upacara terbebut  antara lain: melamar, sang jit, tunagan, upacara pernikahan, cio tao, penghormatan, teh pai, dll. Pernikahan merupakan salah satu proses asimilasi kebudayaan antara dua etnis tersebut, melalui perkawinan campuran tersebut masing-masing dapat saling bertukar kebudayaan. 
Mudana (2012:33) menyimpulkan. Setiap modal sosial akan selalu terkandung adanya dua dimensi yang saling terkait yaitu dimensi kognetif/kultural  yang  berkaitan  dengan nilai-nilai,  sikap  dan  keyakinan  yang mempengaruhi  kepercayaan,  solidaritas, dan  resiprositas  yang  mendorong  ke arah terciptanya  kerjasama  dalam  masyarakat guna  mencapai  tujuan  bersama. Dimensi kedua  adalah  dimensi  struktural  yang berupa  susunan  ruang  lingkup  organisasi dan  lembaga-lembaga  masyarakat  pada tingkat  lokal,  yang  mewadahi  dan mendorong  terjadinya  kegiatan-kegiatan kolektif yang bermanfaat bagi seluruh warga masyarakat.  Kedua  dimensi  ini  dalam masyarakat  selalu  berdinamika.  Dinamika dari  kedua  dimensi ini  akan  memungkinkan terjadinya  keharmonisan,  dan  juga dominasi, hegemoni, jaringan kuasa.

B.  Saran
Kita sebgai mahasiswa dan sekaligus masyarakat di indonnesia seharusnya selalu tetap menjaga adat yang sudah ada kebudayaan agar tetap bisa melestarikan hukum adat supaya tidak hilang ditelan oleh masa dan bisa dinikmai oleh generasi yang akan datang, serta kita selalu menghargai adat etnis lain yang ada di negara Indonesia agar terwujut masyarakat yang sejahtera yang tidak membeda-bedakan perbedaan etnis. Dengan selesainya penulisan tugas ini, saya berharap laporan ini bisa digunakan bagi penulis dan para pembaca yang nantinya membawa manfaat.

















DAFTAR PUSTAKA

Dewi, L. C., Damajanti, M. N., Visual, D. K., Seni, F., & Petra, U. K. (n.d.). "Perancangan Buku Panduan Persiapan Pernikahan Tradisi Tionghoa Masa Kini", 1–15. Surabaya: Universitas Kristen Petra.

Hidayat,  Z.M.1993.  Masyarakat  dan Kebudayaan  Cina  di  Indonesia. Bandung : Penerbit Tarsito.
         Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UIPress.

Listiyani, titin. 2011. “Partisipasi Masyarakat Sekitar Dalam Ritual Di Kelenteng Ban Eng Bio Adiwerna”. Jurnal Komunitas. 2:124-130. Purwokerto: SMA Kristen Purwokerto. 

Mudana, i, w. 2012. “Modal Sosial Dalam Pengintegrasian Etnis Tionghoa Pada Masyarakat Desa Pakraman Di Bali”. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora. 1:30-40. Bali: Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.

Koentjaraningrat, 2002. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta : Penerbit : Djambatan.

Primayudha, N., Purnomo, H., Setiyani, Gita. 2014. "Makna Penerapan Elemen Interior Pada Bangunan Vihara Satya Budhi-Bandung", Jurnal Rekajiva. 02:1-14. Bandung: Institut Teknologi Nasional.

Sihabuddin, A. (2011). Komunikasi antarbudaya: Satu perspektif multidimensi. Jakarta, Indonesia: PT. Bumi Aksara.

Suliyati, T., Ilmu, F., & Universitas, B. (n.d.). "Adat perkawinan masyarakat tionghioa di pecinan semarang", 218–228. Semarang: Universitas Diponegoro. 

Suryadinata, Leo (2005) Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, LP3ES, Jakarta.

Widodo, T. (2015). "Budaya Dan Kinerja Organisasi ( Studi Pada Retail Tradisional Kepemilikan Tionghoa Di Kota Malang )". Jurnal JIBEKA. 9, 54–59. Malang : STIE ASIA MALANG.

Widy,  Hastuti  N,  2004. Diskriminasi Gender  (Potret  perempuan dalam  hegemoni  laki-Laki): Suatu  Tinjauan  Filsafat  Moral. Yogyakarta: Hanggar Kreator.

Wardana, natia. (1998). “Identitas Tionghoa Pada Masyarakat Bandung Kontemporer”. Jurnal Tingkat Sarjaa Bidang Seni Rupa. 1-8. Bandung: ITB.